Dear, My Love!

Dear, My Love!

Tahukah sayang? (atau aku sering memanggilmu K-Kun, Bang Jek atau Beng Cho :p), surat ini kubuat bukan untuk merayu, tetapi saat aku sedang membaca kemudian ketika aku sedang memulai aktivitas menulisku, tiba-tiba saja aku teringat gelak tawa kita, pertengkaran kita, atau tangis kita berdua.

Sayang yang pendiam dan lebih sering memendam perasaan, sedangkan aku cenderung eksplosif, ribut dan sangat spontan. Kita berdua seperti perment mint dan perment asam, satunya menyejukkan, satunya lagi seringkali memberi rasa kecut di ujung lidah. Tapi, kau menggenggam jemariku, dan aku rindu untuk menikmati senyummu sembari menyesap cokelat panas diiringi musik romantis di kafe favorit kita. Persetan, dengan rasa mint atau asam itu, yang kutahu bahwa aku merasa setengah ketika sedang berselisih pendapat denganmu.

Isi kepalaku mungkin kadang sulit dipahami, dan pendapatmu terkadang kurang jelas kumengerti. Oh, itu sungguh memusingkanku sayang, namun juga membuatku tahu, kau adalah manusia independen sepertiku. Kisah cinta kita tidak seperti konsep kuno yang sering diagung-agungkan para pecinta.

Kata mereka,"Kita mencari separuh jiwa kita, setelah bertemu, maka ia disebut belahan jiwa."


Aku tertawa, sayang. Jika memang cinta berjalan seperti itu, alangkah sedihnya seseorang yang belum menemukan belahan hatinya, berarti bisa disebut bukan manusia utuh. Kamu dengan kehangatanmu yang lembut, dan perangaiku yang mudah meledak lalu dengan mudahnya surut, mungkin nampak tidak serasi tapi, kita adalah manusia utuh. Kita manusia utuh yang terpanggil oleh rindu. Decak tawa, rasa kesal, hingga air mata yang keluar, muncul sebab emosi muda kita yang masih menggelora. Kita masih muda dan cemburu yang tak masuk akal atau kecemasan yang agak mengada-ada itu menunjukkan jika cinta harus saling memiliki. Itu aku dan kamu, manusia utuh yang saat bersama menjadi lebih utuh dan kuat lagi.

Maaf untuk waktu-waktu terlewat yang menimbulkan gelombang emosi. Aduh sayang, jangan depresi dengan sikapku yang seringkali muncul tanpa kupikir, ya. Aku juga belajar memaklumi pilihan sikap diam sayang. Maka maaf itu seharusnya ada, karena kita sama-sama belajar memahami. Ini bukan lagi soal aku dan kamu  lagi, ini adalah kisah yang sedang kita lukis bersama. Karena kita mempunyai gaya melukis berbeda, bisa saja aku tak sengaja mencoret lukisanmu atau bisa juga kau membalasnya dengan mencoret wajahku. Itu sayang, yang kita sebut, kita hidup. Cinta bukan masalah saling melengkapi, justru saling setia dalam pembelajaran memahami tiada henti itulah yang kusebut cinta. Sekali lagi kukatakan, kita utuh sayang.

Mungkin orang lain mengatakan, masih terlalu dini menyebut kisah kita sebagai cinta sejati. Hei, bodoh sekali mempedulikan mereka. Kita tak tahu hal-hal apa saja yang akan menghadang kita di masa depan. Yang kutahu, sekarang aku bersamamu. Kau pun berkata ingin mendampingiku di detik-detik kiniku. Sayang, kuucapkan selamat malam untukmu. Sampai Sang Maha memberi restu pada kita untuk terus menyatu, maka kukatakan "Dear, I Love You,"


Tertanda,
R.D.S (pecandu kegaduhan)




Tidak ada komentar